
Lahan Produktif di Jatim Berpotensi Makin Menyusut, Per Tahun, 1.000 Hektare Beralih Fungsi
Produktivitas pertanian di Jawa Timur hingga kini memang masih terjaga. Bahkan, provinsi ini masih berstatus sebagai lumbung pangan nasional. Hanya, persoalan ketersediaan lahan menjadi PR besar Pemprov Jatim saat ini.
Sebab, dari hasil evaluasi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Jatim, setiap tahun rata-rata alih fungsi lahan pertanian di provinsi ini mencapai 1.100 hektare.
Di sisi lain, berdasar data Kementerian Pertanian (Kementan), dari 7,46 juta hektare lahan pertanian di Jawa Timur, yang sudah beralih fungsi mencapai 659.200 hektare.
Kepala DPKP Jatim Dydik Rudy Prasetya menyatakan, perubahan fungsi lahan pertanian terjadi karena beberapa sebab. Di antaranya, terimbas sejumlah proyek infrastruktur berskala nasional seperti jalan tol, bendungan, dan industri.
”Pertumbuhan perumahan atau kawasan permukiman lainnya juga turut menyumbang menyusutnya lahan pertanian,” katanya.
Hanya, alih fungsi itu bukan satu-satunya penyebab. Di sejumlah daerah, pemerintah daerah setempat bisa menyiapkan lahan pengganti setelah lahan existing beralih fungsi.
’’Seperti di Nganjuk. Lahan pertanian berkurang 90 hektare dipakai tol. Namun, ada lahan yang menggantikan,’’ katanya.
Sebab, kabupaten tersebut sudah memiliki lahan cadangan pangan pertanian berkelanjutan (LPCP2B). ’’Karena memiliki peraturan daerah (perda) khusus tentang lahan pangan pertanian berkelanjutan (LP2B),’’ katanya.
Masalahnya, sejauh ini di antara 38 kabupaten/kota di Jatim, baru 16 daerah saja yang sudah memiliki perda LP2B. ’’Karena itu, saat ini kami sudah meminta agar kabupaten/kota yang belum memiliki regulasi ini untuk segera menyusunnya,’’ paparnya.
Sebab, saat ini perda tersebut sangat vital untuk menahan laju alih fungsi lahan pangan. Sebab, Pulau Jawa sudah tidak ada lagi area untuk pembukaan lahan sawah baru.
Selain regulasi, yang saat ini bisa dilakukan adalah intensifikasi pertanian. Pola tanam ditingkatkan dari sekali setahun bisa menjadi empat kali.
’’Upaya ini yang dilakukan pemprov dan kabupaten/kota. Sehingga sampai saat ini, produksi pangan Jatim masih selalu surplus,’’ katanya.
Sebelumnya, isu seputar ketersediaan lahan pertanian juga dicarikan solusi oleh Kementan. Institusi itu menggulirkan usaha pengendalian alih fungsi lahan bekerja sama dengan jajaran aparat penegak hukum (APH) dan akademisi di wilayah Jatim.
Baca Juga : Wujudkan Pertanian yang Maju, Mandiri, dan Modern, Pemkab Bateng Perkuat Kolaborasi Bidang Hortikultura
SENSUS pertanian (SP) tahun 2023 bakal dimulai pada 1 Juni mendatang. Ada 32.392 petugas yang terlibat dalam pendataan di wilayah Jatim yang berlangsung selama dua bulan.
Bukan hanya unit usaha pertanian kelas rumah tangga yang menjadi sasaran. Nanti juga ada pendataan perusahaan pertanian dan usaha pertanian yang dikelola kelompok.
Pendataan dilakukan pada subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, pertanian, kehutanan, dan jasa pertanian.
’’Seluruh jajaran di Pemprov Jatim dikerahkan untuk membantu pendataan. Kami meminta masyarakat juga mendukung sensus,’’ kata Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Menurut dia, sensus tersebut sangat penting sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan ke depan. Terlebih, Jatim masih menjadi lumbung pangan nasional.
’’Kami berharap upaya ini menghasilkan data-data yang akurat mengenai kondisi terkini pertanian, baik di tingkat nasional maupun daerah,’’ tambah Khofifah.
Khofifah menegaskan bahwa saat ini sektor pertanian di provinsi ini mengalami tren positif. Pada kuartal I 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim mencatat bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan di Jatim tumbuh paling signifikan.
Yakni, mencapai 14,29 persen. Angka tersebut cukup menggembirakan mengingat sebelumnya sektor tersebut sempat mengalami kontraksi.
– Yang sudah beralih fungsi diperkirakan 659 ribu hektare.
– Faktor penyebab:
Tak ada lahan pengganti.
Sebagian daerah tidak menyiapkan regulasi tentang penggantian lahan yang beralih fungsi.

