
Ingin Taklukkan Gunung Akonkagua, Intip Persiapan Tim Ekspedisi Unsoed
Tim ekspedisi dari Universitas Soedirman (Unsoed) akan menaklukkan Gunung Akonkagua di Argentina. Demi melatih kesiapan fisik dan mental, mereka pun melakukan sejumlah persiapan.
Salah satu persiapan yang dilakukan tim adalah sebanyak enam calon atlet Ekspedisi Soedirman VII melaksanakan kegiatan Try Out 1 selama sembilan hari, mulai 19 hingga 27 Juli 2018 di Gunung Slamet.
Keenam atlet Ekspedisi Soedirman VII ini, di antaranya M Ridho Ashari (Fakultas Pertanian), Ningam Syukri (Fakultas Ilmu Perikanan), Duniada Bagas (Fakultas Peternakan), Miftakhur Rizky (Fakultas ISIP), Amanat Surgawi (Fakultas Peternakan), dan Meidy Widya Pangestika (Fakultas Ekonomi dan Bisnis). Mereka juga didampingi oleh tiga orang pendamping, yaitu Agus Ariyanto, Dwi Novian Arbi, dan Handika Maulana.
Persiapan tahap Try Out 1 ini dimulai dari titik pendakian Baturaden, sebuah awal untuk para calon atlet berjalan melangkahkan kakinya hingga ke Pelawangan Baturaden di hari pertama. Perjalanan kemudian dilanjutkan pada hari kedua, yaitu praktik manajemen perjalanan, moving together, tim rescue, self rescue, navigasi menggunakan GPS, dan aklimatisasi.
“Moving Together dipraktikkan dengan cara berjalan bersamaan dengan jarak antara enam hingga delapan meter yang dihubungkan dengan tali antar satu individu ke individu yang lain. Sehingga fungsi dari tali ini untuk melindungi dan menjaga tiap orang yang saling terikat agar tidak terjatuh dalam jurang atau bahaya creavesse,” kata Arizal Maulana, Ketua Panitia Ekspedisi Soedirman VII dalam keterangannya kepada iNews.id, Rabu (1/8/2018).
Kemudian praktik-praktik seperti tim rescue, self rescue, dan navigasi menggunakan GPS juga dilakukan guna mematangkan persiapan menuju gunung terbesar di benua Amerika tersebut.
Sementara itu, sambung dia, praktik aklimatisasi ini diperlukan agar suhu tubuh mampu beradaptasi dengan tekanan, suhu, serta oksigen yang rendah di puncak gunung, juga agar terhindar dari serangan penyakit Acute Mountaine Sickness (AMS).
“Tujuan dari Try Out ini untuk mengimplementasikan seluruh materi yang didapat oleh para calon atlet dari awal tahap simulasi satu hingga simulasi dua. Selain itu, juga untuk memantapkan skill calon atlet dan membiasakan diri berada di puncak-puncak tertinggi dengan tekanan oksigen yang terbatas,” katanya.
Pendakian Tim Ekspedisi Universitas Soedirman ke gunung Akonkagua di Argentina setinggi 6.962 meter ini, merupakan cita-cita dari anggota terdahulu Unit Pandu Lingkungan Mahasiswa Pecinta Alam untuk menggapai seven summit pada usia ke-50 tahun. Kali ini, UPL MPA Unsoed akan mengusung Spirit On The Top Of The White Sentinel di Gunung Akonkagua di Argentina tersebut.
Akonkagua merupakan sebuah gunung di Argentina, dekat perbatasan Chili. Gunung ini terletak di bagian barat di negara itu. Gunung ini memiliki ketinggian 6.962 m (22.841 kaki) dan merupakan gunung terbesar di benua Amerika. Tepatnya gunung ini di Provinsi Mendoza.
Orang pertama yang mendaki gunung ini adalah Matthias Zurbriggen pada tahun 1897.
Tak hanya mengutamakan prestasi akademik, Universitas Katolik Parahyangan Bandung (UNPAR) juga turut mendukung mahasiswanya berprestasi di bidang non-akademis. Hal ini bisa diliat dari kesuksesan mahasiswi UNPAR yang berhasil mendaki puncak Carstensz Pyramid, Kilimanjaro, dan Elbrus.
Dia adalah Dian Indah Carolina, yang menjadi bagian dari tim The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition (Wissemu). Caro, begitu dara manis ini biasa disapa, menceritakan pengalamannya saat menaklukkan ketiga gunung tersebut.
“Setiap gunung memiliki cerita tersendiri,” kata Caro, mengawali perbincangan. Dia mencontohkan, Carstensz Pyramid atau Puncak Jaya yang berlokasi di Provinsi Papua, merupakan salah satu destinasi pendakian paling mahal dari segi pembiayaan.
Menurutnya, hal ini karena pengelolaan yang masih minim dan lokasinya berada di satu lingkungan yang sama dengan PT Freeport Indonesia. Namun demikian, ada banyak tim yang membantu mereka saat mendaki puncak gunung, termasuk tim dari PT Freeport Indonesia. Puncak Jaya menjadi pendakian perdana Caro sebagai anggota Wissemu pada 2014.
“Itu pertama kalinya aku naik gunung yang tinggi banget di Indonesia. Di situ keseruannya. Pertama kali mencoba (pendakian) di gunung tinggi. Keindahan alamnya bagus banget,” ujarnya.
Tim Wissemu terdiri atas empat orang, yakni Caro, Dee Dee, Hilda, dan Zulfikasari. Namun karena beberapa kendala, Zulfikasari harus mundur dan tidak bisa mengikuti pendakian selanjutnya.
Caro bercerita tentang pengalamannya mencapai puncak gunung dengan ketinggian 4.000 mdpl membuatnya merasakan penyakit Acute Mountain Sickness (AMS) atau penyakit ketinggian. Dia mengalami pusing yang luar biasa. Walau begitu, dia bertekad pendakian harus tetap dilanjutkan.
“Rasanya pusing banget. Oh, ini rasanya penyakit ketinggian. Itu yang harus dihadapi,” ujarnya mengenang perjalanan pendakian perdananya.
Usai menaklukkan Puncak Jaya, Tim Wissemu melanjutkan petualangan ke Gunung Kilimanjaro di Tanzania, Gunung Elbrus di Rusia, dan Gunung Akonkagua di Argentina. Namun langkah Caro terhenti di Gunung Akonkagua karena dia menderita penyakit AMS lagi. Kali ini, lebih parah dibandingkan saat berada di Puncak Jaya.
Menurutnya, daya tahan tubuh pendaki yang mengalami penyakit tersebut menjadi tidak teratur terhadap perbedaan ketinggian dan kecepatan pendakian. Caro merasakan pusing, mual, dan tidak nafsu makan. Akhirnya, Caro terpaksa harus turun karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinan untuk melanjutkan pendakian.
“Mereka (Dee Dee dan Hilda, Tim Wissemu) lanjut naik, dan aku turun lagi ke camp dibantu tim dan porter,” ucap alumni mahasiswi jurusan Hubungan Internasional itu.
Kata Caro, Akonkagua termasuk destinasi pendakian dengan tenaga dan fasilitas medis yang mumpuni. Ketika sampai di camp, hari berikutnya Caro dijemput helikopter dan dibawa ke rumah sakit di kota terdekat di Argentina. Saat itu, Dubes Indonesia untuk Argentina, Sinaga, membantu penanganan di rumah sakit.
“Begitu sadar, aku di ruang ICU. Ternyata aku sudah melewati dua hari. Ada pembuluh darah pecah di otak,” tutur Caro, yang juga aktif sebagai anggota Mahasiswa Parahyangan Pencinta Alam Universitas Katolik Parahyangan (Mahitala UNPAR).
Keputusan untuk turun gunung tak ayal membuatnya sedih dan menyesal. Namun di satu sisi, Caro juga tidak ingin menjadi beban tim. “Di Acon (Akonkagua), waktu disuruh turun, aku langsung mikir, enggak bisa lanjut (mendaki gunung lainnya). Aku enggak mau menjadi burden (beban),” ujar Caro.
Tim Support Wissemu
Sejak tidak aktif sebagai tim pendaki Wissemu, perempuan asli Bandung itu menjadi tim support bagi Dee Dee dan Hilda, mulai dari Gunung Denali hingga pendakian terakhir di puncak Everest. Perannya sebagai tim support Wissemu, yakni sebagai humas terkait urusan media.
“Aku yang memegang report mereka, humas mereka, dan segala hal yang berhubungan dengan media,” kata Caro.
Dia menjelaskan, tim Support harus menyiapkan berbagai kebutuhan pendaki supaya perjalanan aman juga nyaman. Tim support juga yang mengurus perihal teknis latihan, sponsor, dan kerja sama dengan pihak media.
Pengalamannya mendaki gunung bersama Wissemu merupakan pengalaman luar biasa sepanjang hidupnya. Ia ingin mahasiswa/mahasiswi UNPAR ada yang bisa meneruskan kesuksesannya. Caro mengajak teman-teman Unparian untuk memanfaatkan berbagai peluang di luar kelas.
“Gunakan fasilitas (UNPAR) yang ada sebaik mungkin. Misalnya, ikut serta dalam acara-acara kampus. Jangan sia-siakan waktu hanya untuk di kelas. Waktu kuliah itu untuk mengeksplorasi dan berkarya,” ucapnya.
Baca Juga : https://www.myherbgardenguy.com/mauna-kea-versi-sejati-gunung-tertinggi-di-dunia/

