
Cuaca Panas El Nino, Sumber ‘Malapetaka’ Bumi Tahun Ini
Fenomena El Nino memicu dampak besar terhadap kehidupan di bumi. Selain gelombang panas, El Nino juga memicu kekeringan.
Berdasarkan perkiraan para analis bahwa Juni merupakan bulan terpanas dalam catatan 174 tahun yang disimpan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
Secara global, Juni adalah Juni terpanas dalam catatan 174 tahun yang disimpan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration, kata badan federal itu pada Kamis. Itu adalah 47 Juni berturut-turut dan 532 bulan berturut-turut di mana suhu rata-rata berada di atas rata-rata abad ke-20.
“Jumlah cuaca ekstrem simultan yang kita lihat sekarang di Belahan Bumi Utara tampaknya melebihi apa pun setidaknya dalam ingatan saya,” Michael Mann, profesor ilmu bumi dan lingkungan di University of Pennsylvania, mengatakan kepada CNBC International.
Jumlah es laut yang diukur pada Juni adalah es laut Juni global terendah yang pernah tercatat, terutama karena tingkat es laut yang mencapai rekor terendah di Antartika, juga menurut NOAA.
Ada sembilan siklon tropis pada bulan Juni, didefinisikan sebagai badai dengan kecepatan angin lebih dari 74 mil per jam, dan akumulasi energi siklon global, ukuran durasi kolektif dan kekuatan badai tropis, hampir dua kali nilai rata-rata untuk 1991-2020 di bulan Juni, kata NOAA.
Bahkan sebelumnya, Organisasi Meteorologi Dunia atau WMO telah mengeluarkan laporan pemantauan terbaru mengenai peluang terjadinya El Nino pada 2023. Tim peneliti memprediksi El Nino yang bakal terjadi dalam kategori kuat sehingga dampaknya bisa lebih besar.
Maka dari itu, ancaman El Nino tak mengecualikan Indonesia. Kenaikan suhu permukaan laut di bagian timur Samudra Pasifik ini akan berpotensi menurunkan produksi padi dan mengganggu stabilitas harga pangan.
El Nino kali ini muncul ketika osilasi permukaan laut di Samudra Hindia memasuki periode menghangat. Perubahan ini merupakan fase positif dari fenomena yang disebut Dipol Samudra Hindia (IOD).
Dalam situs BMKG, El Nino merupakan fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah sekitarnya, termasuk seperti di Indonesia.
Menurut BMKG, El Nino memiliki dampak yang beragam dalam lingkup skala global.
Beberapa negara di kawasan Amerika Latin seperti Peru, saat terjadi El Nino akan berdampak pada meningkatnya curah hujan di wilayah tersebut. Sedangkan di Indonesia secara umum dampak dari El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan.
Mengapa fenomena El Nino yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur dapat berdampak terhadap curah hujan di Indonesia?
Hal ini disebabkan karena adanya Sirkulasi Walker yang berputar sejajar dengan garis khatulistiwa. Pada kondisi netral, Sirkulasi Walker di Indonesia berbentuk konvergen (naik), sehingga meningkatkan potensi pertumbuhan awan konvektif pembentuk hujan.
Sedangkan saat terjadi El Nino, Sirkulasi Walker akan bergeser karena melemahnya angin pasat timuran sehingga di wilayah Indonesia Sirkulasi Walker akan berbentuk subsiden (turun) yang menyebabkan potensi pertumbuhan awan konvektif berkurang, sehingga curah hujan cenderung berkurang.
Sebagai informasi, kondisi geografis Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan, maka dampak dari El Nino juga bervariasi antar wilayah di Indonesia.
Mengutip artikel National Science Foundation (NSF), El Nino menggerus triliunan dollar AS pendapatan di seluruh dunia. Studi ini termasuk yang pertama mengevaluasi biaya jangka panjang El Nino, dan memproyeksikan kerugian yang jauh melebihi perkiraan penelitian sebelumnnya.
Para peneliti menghabiskan dua tahun untuk memeriksa aktivitas ekonomi global dalam beberapa dekade setelah peristiwa El Nino 1982-83 dan 1997-98 dan menemukan “tanda yang terus-menerus” dari pertumbuhan ekonomi yang melambat lebih dari lima tahun kemudian.
Baca Juga :
Mentan SYL: Banten Mampu Berkontribusi untuk Kebutuhan Pangan Nasional
Petani di Wonogiri Panen 200 Ton Gabah Hasil Digitalisasi Pertanian
Perekonomian global masing-masing mengalami penurunan sebesar US$4,1 triliun dan US$5,7 triliun, dalam setengah dekade setelah masing-masing peristiwa ini, sebagian besar ditanggung oleh negara-negara tropis termiskin di dunia.
Para peneliti memproyeksikan bahwa kerugian ekonomi global untuk abad ke-21 akan mencapai US$84 triliun karena perubahan iklim berpotensi memperkuat frekuensi dan kekuatan El Nino.
Para peneliti memperkirakan bahwa El Niño tahun 2023 saja kalau benar terjadi dapat menahan ekonomi global sebanyak US$3 triliun pada tahun 2029.
Penulis utama Christopher Callahan, Rekan Penelitian Pascasarjana Yayasan Sains Nasional AS, mengatakan penelitian tersebut membahas perdebatan yang sedang berlangsung tentang seberapa cepat masyarakat pulih dari peristiwa iklim besar seperti El Nino.
Di Indonesia sendiri, sektor pertanian tentu menjadi sorotan. Sebab, Indonesia dikenal sebagai negara agraris yaitunegara dengan perekonomian bergantung atau ditopang oleh sektor pertaian. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah serta dipercaya dapat mendorong perekonomian negeri.
Pada sektor pertanian, El Nino dapat menjadi tantangan besar karena dapat mengganggu pola cuaca yang berdampak pada produksi pertanian dan kesejahteraan petani.
Oleh karena itu, pemantauan dan pemahaman yang baik tentang El Nino sangat penting agar dapat mengambil langkah-langkah pencegahan dan penyesuaian yang tepat untuk mengurangi dampaknya.
Setidaknya, inilah beberapa hal penting yang perlu diwaspadai terkait dengan kejadian El Nino di sektor pertanian.

